Cinta hingga Menua

Cinta-Kakek

Pagi ini udara sejuk, karena hujan yang turun deras saat subuh, saking derasnya sebagian kota palu gelap karena listrik ikut padam. Seperti biasa suasana subuh di rumah saya sudah ramai, saling canda, saling ledek, rebutan bantal, rebutan remote tv, riuh rendah suara anak-anak yang sebenarnya bukan anak-anak lagi😊😊karena yang laki2 sudah berkumis dan berjenggot hehehe, suasana pagi yang selalu mampu membuat dada hangat dan sesak dipenuhi rindu jika jauh dari rumah. Meski salah satu dari kelima anakku sedang tak dirumah karena dinas di rumah sakit tapi tidak mengurangi kegaduhan pagi yang seolah sudah menjadi ritual setiap hari di rumah ini. Saya amat sangat menikmati suasana pagi seperti ini, karena saya sadar suasana pagi seperti ini tidak akan berlangsung lama karena pada akhirnya satu-satu mereka akan meninggalkan rumah, menjalani taqdir mereka masing-masing. Ketika saya menjenguk kamar mama saya, dan mata saya menangkap pulasnya beliau tidur saya tergugu, saya tau mama saya sering kesepian sendiri, apalagi sejak ditinggalkan papa saya hampir 10 bulan lalu. Tidak mudah baginya menerima kenyataan bahwa beliau ditinggalkan belahan jiwanya yang hampir 54 tahun hidup bersama. Nyaris tidak pernah berpisah lama kecuali karena tugas kantor. Mama saya memang meminta pensiun dini atas saran papa saya, yang melihat kondisi kesehatan mama yang tidak memungkinkan untuk bekerja di kantor dengan jam yang terikat. Dan mama saya menjalaninya dengan suka cita, alhamdulillah selama pensiun beliau nyaris tidak pernah di anfal sakit. Bahkan setelah papa saya pensiun, hari-hari mereka lalui dengan hangat dan penuh cinta, semua dilakukan berdua bahkan sekedar untuk duduk di teras rumah selalu berdua. Hampir pasti kami tidak pernah melihat mereka berjalan atau beraktivitas sendiri-sendiri. Bahkan kami harus menyediakan dua hari khusus dalam 10 hari untuk mengantar mereka kontrol ke Rumah Sakit,  sehari untuk mengantar papa yang menemani mama, dan sehari lagi mama yang menemani papa 😍😍 alasannya karena papa harus tau apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan atau di larang dokter untuk mama, begitu sebaliknya. Seringkali bahkan kami dibuat terharu, melihat bagaimana mama saya mengusap kepala papa atau sebaliknya papa memijat jemari mama saya yang katanya semakin sering kesemutan. Bahkan ada dialog yang menurutku betul-betul menunjukkan bahwa perasaan cinta diantara keduanya begitu pekat “Dao… ane kamiu motinggaolu ra pokio mpue, njapa kupovia di?”( Dek, kalau kau yang duluan di panggil Tuhan, saya nanti bagaimana?) ketika mendengar pertanyaan papa, mama saya tidak berkata apa-apa hanya mengusap wajah papa sambil menyembunyikan matanya yg buram karena air mata.” Ane aku motingoulu, damaria anamu mourusi kamiu di”( kalau saya yang duluan kan ada anak2mu yang akan mengurusmu dek) papa tetap menyambung kata-katanya, seolah tau bahwa apa yang beliau katakan benar-benar akan terjadi, ternyata kata-kata itu adalah firasat karena sebulan kemudian, beliau berpulang terlebih dahulu meninggalkan mama. Kadang-kadang saya merasa amat bersalah karena sering meninggalkan beliau sendirian padahal saya tau betul, justeru saat ini beliau sangat membutuhkan teman untuk berbagi, paling tidak mengajaknya bercerita tentang masa-masa indahnya dulu, saat kami hadir dalam kehidupan mereka. Saat-saat beliau berkisah selalu saja binar matanya, dan senyumnya membuat mama terlihat lebih sehat. Tapi berapa banyak waktu yang bisa kami beri untuk itu? itu yang membuat hati saya ngilu. kesepian yang beliau rasakan seringkali hadir tanpa beliau sadari, kami tangkap lewat ucapan yang mungkin tidak beliau sengaja, ” coba tadi papamu bilang apa?” kata mama tiba2, yang membuat kami terkejut ” Pue, pua so te ada dan ” kata bungsuku mengingatkan ” oh iya, pue seperti dengar suara puamu” kami terdiam memandang wajah mama yang memandang jendela kamar dengan tatapan hampa, kami merasakan betul duka yang beliau rasakan, kehilangan yang beliau alami dan betapa menyakitkan yang namanya kehilangan, karena hanya meninggalkan jasad mama yang semakin ringkih dengan separuh hati, karena separuhnya lagi telah ikut terkubur😢😢. Tubuh tua mama tergolek pulas dalam posisi yang menumbuhkan rasa sayang, dengan lutut yang nyaris menyentuh dada tanpa selimut, pemandangan yang tidak pernah aku saksikan selama ini, karena papa akan selalu merapikan selimut mama jika tersibak sedikit saja, karena penyakit mama memang tidak bisa kena dingin padahal mama juga tidak kuat kalau tidur tanpa AC. Kuselimuti tubuh ringkih yang kini tanpak kurus itu rapat-rapat, mata mama hanya terbuka sebentar lalu pulas kembali sambil memeluk selimutnya rapat-rapat ke dada. Yah… proses menua adalah proses alamiah dan akupun tengah menuju kesana, aku berdoa semoga masa tuaku nanti tetap membahagiakan ditengah anak cucu yang selalu penuh kasih.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: