Mamaku anak ke 14 dari 16 bersaudara. Sulit membayangkan bagaimana ramainya rumah nenekku dan bagaimana nenekku mengurus ke enam belas anaknya. Tapi fakta, bahwa dari ke 16 anak tersebut, nenekku memiliki 125 orang cucu adalah penanda bahwa kakek dan nenekku dicukupkan Allah swt untuk memelihara semua anak-anaknya dengan baik.” Slogan banyak anak, banyak rezeki” benar-benar terbukti dalam kelurga kakekku.
Bahkan salah satu dari putrinya juga mewarisi nenek memiliki 16 orang Anak. Hingga kami memanggil kakak mamaku itu dengan sebutan papa “Dea” dan Ino “Dea”. Dea artinya banyak, kira-kira maknanya, papa dan mama yang anaknya banyak.
Dengan putri pertama Ino dea, mamaku seumuran bahkan menurut kisah mereka hanya selisih hari. Lucu membayangkan bagaimana tante dan ponakan bisa barengan lahir hehehe… tapi itulah yang terjadi. Dan dari keenam belas saudaranya mamakulah yang terakhir dipanggil Allah. Karenanya beliau menjadi sandaran dan menjadi tempat curhat ponakan dan cucu2 beliau.
Bisa jadi karena banyak bersaudara mamaku memiliki rasa tenggang rasa yang tinggi, kesabaran yang melampaui banyak orang dan gigih membantu papaku mencari uang. Zaman ini tak akan kita temukan Istri Kepala Dinas yang juga bekerja sebagai pegawai, tapi masih kulakan pakaian, bahkan masih juga menjual cemilan dan kue-kue. Tapi itulah faktanya. Mamaku melakukan semua itu tanpa mengeluh.
Meakipun seorang kepala dinas, papaku tidak seperti kadis yang lain. Yang mendidik anak2 mereka dengan kelimpahan harta. Kami didik dengan kesederhanaan, bahkan keprihatinan. Kami semua paham dan mengenal papa kami dengan baik. Beliau selalu mewanti-wanti, “Uang yang kamu bawa pulang kerumah, haruslah uang bersih, karena itu akan dimakan oleh anak dan istrimu, akan menjadi darah dan daging mereka, dan sangat menentukkan bagi pembentukkan karakter dan ibadahnya kelak”. Sebagai Kadis mestinya menghidupi sekian banyak orang dirumah bukan masalah bagi papa dan mamaku. Tapi yah itu tadi, papaku semata-mata mengharapkan gaji saja, sehingga mama perlu bekerja keras untuk membantu dengan melakukan pekerjaan sambilan. Kami diajarkan untuk hidup secukupnya dan berbagi dengan semua sodara yang tinggal bersama kami.
Maklum zaman dulu belum ada kos-kosan, hingga saudara dari kampung yang berkeinginan keras menyekolahkan anaknya, harus menitipkan anak-anaknya pada saudara yang tinggal dikota. Meskipun tuan tumah memperlakukan mereka seperti anak sendiri, tetap saja mereka harus membagi waktu antara belajar dan bekerja melakukan pekerjaan rumah. Karenanya mamaku membuatkan mereka jadwal mencuci, beres-beres rumah dan memasak.
Saat waktunya makan, papaku akan mengumpulkan kami dan semua saudaraku yang tinggal untuk makan bersama. Papa dan mamaku selalu menyempatkan itu, tak ada yang makan sendiri-sendiri.
Pernah suatu ketika, salah satu saudara papa menanyakan hal itu pada papaku, karena di rumah kawannya dia melihat bagaimana tuan rumah dan keluarganya selalu makan lebih dulu, dari pada semua sodaranya yang tinggal dirumahnya, papaku bilang
“Kalau aku dan anak-anakku makan lebih dulu baru kalian, meskipun yang kita makan sama, bisa jadi terbetik dalam pikiranmu bahwa makanan kami lebih istimewa dari yang kalian makan. Padahal apa yang kami makan sama dengan apa yang tantemu suguhkan untuk kalian. Kenapa tidak kita makan bersama saja?”
Saat menceritakan dialognya dengan papaku itu, Kakak sepupuku menangis terisak-isak. Kenangan itu kembali melintas dibenakku. Bagaimana dirumahku dulu, mama membeli meja yang lumayan besar, karena yang lebih tua duduk dekat papaku dan kami anak-anak makan dan menyebar di kursi, di ruang makan rumah kami yang untuk ukuran saat itu lumayan besar. Aku ingat bagaimana istri kakak sepupuku yang datang dari Bandung sampai terheran-heran melihat banyaknya orang yang tinggal dirumah kami dan bagaimana sibuknya mereka memasak layaknya tengah berpesta. Sampai beliau berkata padaku suatu hari ketika aku berkunjung kerumahnya ” Duhh, kakak ingat betul dek, dirumahmu banyak sekali orang yang ditampung papa, mama yah dek. Mama itu sabar banget dek, ngurusin ponakan segitu banyaknya”
Mamaku memang sabar. Dan beliau menjadi istimewa karena kesabaran tersebut. Beliau selalu mengingatkan aku dan semua ponakannya
“Apa yang kalian liat dan tidak kalian sukai atau membuatmu kecewa, dan apa yang kalian dengar mengenai seseorang dan kamu anggap sesuatu hal buruk mengenainya, maka simpan semuanya dalam hati, telan. Karena tidak akan membusuk dan merusak hatimu. Karena tidak semua hal yang kita rasakan harus diungkapkan, karena jika diungkapkan, bisa jadi malah mengakibatkan kerusakan besar, hati yang sakit menjadi pemicu putusnya tali persaudaraan, dan hubungan persahabatan “.
Itu menjadi nasehat terpanjang dari mamaku. Selebihnya kami diberinya pelajaran dengan tindakan. Menyambut tamu dengan wajah sumringah, mengantar tamu pulang hingga kehalaman, dan berpesan untuk datang lagi berkunjung kalau sempat. Jika yang datang ponakan maupun cucu-cucu, baik cucu dalam maupun cucu luar selalu mama menyambut mereka dengan mencium kedua pipi dan kening mereka.
Dulu ketika kami masih kecil-kecil, saat lebaran papa dan mamaku selalu membawa kami berziarah kerumah keluarga yang mereka anggap lebih tua, papa selalu bilang jika tidak saling mengunjungi hatta sepupu dekat akan terasa seperti keluarga jauh, bahkan bisa jadi anak-anakpun tidak akan saling mengenal.
Dan ketika kami dewasa, tidak mungkin lagi kami mengekor di belakang mereka untuk pergi kepesta. Seingatku papa dan mamaku tergolong orang yang rajin mengunjungi keluarga, baik ketempat duka maupun kepesta pernikahan. Nyaris tak ada waktu libur mereka dirumah, semuanya tersita untuk acara mengunjungi keluarga. Ketika papaku meninggal dan mamaku mengambil alih kursi rodanya karena asam urat dan rematik akut, mamaku masih juga mengupayakan hadir ke pernikahan kerabat, apalagi jika yang menikah masih ponakan atau cucu luarnya. Meskipun beliau harus di dorong dan di gendong naik turun mobil.
Ketika beliau sudah merasa payah untuk bisa hadir, beliau masih juga rajin mensortir undangan dan memisahkan undangan keluarganya, menelpon kakak dan adikku serta mengingatkan aku untuk mengupayakan hadir di acara tersebut.
“Jangan sampai kalian tidak pergi, apalagi ke acara keluarga. Hanya itu jalannya kalian bisa bertemu muka dengan sodaramu. Mama tidak kuat lagi pergi”.
Beliau akan diam seribu bahasa, penanda beliau tidak berkenan dengan sikap kami, jika akhirnya beliau tahu karena kesibukan, kami batal pergi.
Ketika kami meminta maaf beliau akan bilang “Sesibuk apapun, usahakanlah hadir, meskipun hanya sebentar. Kalian diundang bukan karena kalian penting, tapi karena mereka menghargai kalian sebagai keluarga. Kalau nanti mama meninggal, mustahil kalian sendiri yang akan membawa jenazah mama ke makam. Pasti sodara-sodaramu juga, yang akan kamu minta untuk mengantar”
Dan benar saja ketika beliau berpulang yang hadir sama banyaknya dengan yang mengantar papa ke pemakaman. Alhamdulillah yang menyolatkan beliau dirumah berulang-ulang. Bahkan masjid di kampung kelahiran beliau juga dipadati pelayat. Ini sungguh diluar ekspetasiku.
Saat papaku meninggal dan manusia menyemut mengantarkan dan menyolatkan beliau, aku berpikir, papaku memang memiliki relasi yang banyak sekali. Baik teman sejawat saat masih berkantor apalagi papaku beberapa kali pindah instansi. Dan belakangan ketika pensiun, papaku memiliki banyak sekali teman pengajian. Dibeberapa masjid yang menjadi tempat pengajian tetapnya, juga dirumah yang nyaris setiap hari beliau didatangi jamaahnya.
Sementara mamaku, karena sakit-sakitan beliau pensiun dini. Meski dulu aktif sebagai ketua Darma wanita dan ikut menjadi pengurus Aisyiyah, setelah pensiun mama berhenti sama sekali berorganisasi, hanya mengurusi papa dan lebih banyak beraktifitas dirumah bersama cucunya. Tapi itulah…. menjadi pelajaran kini bagiku, bahwa kebaikan tidak pernah bisa di rampas waktu, tetaplah dapat kita panen kapanpun kita butuhkan.Mungkin bukan saat kita melakukan kebaikan tapi lama setelahnya. Bukankah kebaikan seseorang akan terlihat diakhir hayatnya?
Ya rabby…. untuk semua yang beliau telah lakukan untuk kami dan para ponakan, jadikan itu sebagai ladang amal beliau yang tidak putus-putusnya. Menjadi teman baginya dialam kubur, lapangkan kubur keduanya yah rabby, terangi dan tempatkan keduanya ditempat terbaik. Amin.. ya rabbal alamin.