My Inspiration has gone

Hari ketiga, usai sholat subuh kakakku sudah tiba dirumahku, karena semalam kami memang janjian ke makam mama. Embun yang berjatuhan dari sisa hujan kemarin, membuat udara sedikit dingin. Nikmat sekali rasanya menghirup udara pagi sisa hujan dan harum bau tanah. Satu dua ekor burung gereja melintas dihalaman. Setelah sekian hari panas terik menghajar kulit. Hujan deras sejak subuh hingga siang kemarin seolah memberi harapan bahwa kami akan baik-baik saja.

Tepat setahun gempa dan likuifaksi dan hari ketiga mamaku dimakamkan. Serasa mama masih dikamarnya, seperti pagi sebelumnya. Tatkala kami semua berpacu dengan mentari untuk beraktivitas pagi. Mama akan duduk diruang tengah hingga kami berangkat bekerja.
Rasa haru kembali menyerbuku, ke “pulang” an mama benar-benar beliau siapkan.

Bagaimana tidak, ketika kami yakin bahwa mama benar-benar telah tiada, aku meminta anakku untuk segera membeli kafan, karena rencananya mama akan dimakamkan ba’da zuhur dan aku ingin besok pagi mama sudah selesai aku mandikan. Sehingga yang datang melayat sudah menemui mamaku dalam keadan bersih dan rapi. Merekapun bisa langsung menyolatkan mamaku jika kemudian tidak bisa datang lagi saat pemakaman.

Jam 11 malam, aku mulai menggunting kafan mama. Kesedihan datang bergelombang menyesakkan dada. Perasaan sedih yang berbeda dengan saat aku menggunting kafan sebelum-sebelumnya. Dulu tatkala aku menggunting kafan dari jenazah yang akan aku mandikan, aku berpikir pemiliknya tengah menungguiku menyelesaikan baju terakhir yang akan dipakainya, mungkin pemiliknya sering berpakaian mahal dari boutique terkenal, lalu akhirnya baju putih tak berjahit yang akan dia kenakan digunting dan dibuat olehku yang sama sekali tak pandai menjahit bahkan memasang kancing sekalipun. Karena merasa ditunggui pemiliknya maka aku akan mengerjakan dengan khikmat dan hati-hati.

Saat ini aku menggunting dengan perasaan haru biru. Mamaku tipe perempuan yang suka menggunakan baju dengan warna terang dan ramai, kegemaran ini menurun pada aku dan adikku dan menjadi candaan di antara kami. Meskipun beliau suka warna menyolok dan ramai namun beliau sama selali tidak seperti aku dan adikku atau anak perempuan kami. Beliau cenderung sedikit bicara, tidak seperti kami anak beranak semuanya ramai, dan kalau ketemu pasti seperti pasar atau seperti gerombolan tawon. Mama hanya akan senyum-senyum senang jika melihat kami ribut saling saut menyahut jika berkisah. Tidak jarang beliau akan terbahak hingga mengeluarkan air mata jika melihat hal-hal lucu dari tingkah pola cucunya, atau mendengar ceritaku.

Mamaku juga perempuan yang menyukai sejarah, karenanya beliau suka menyimpan berbagai barang-barang kenangan dilemarinya. Seperti kebaya pertamanya, gelang pertama ketika baru menikah, cincin yang dibeli dengan gaji pertama dsb. Bahkan mama masih menyimpan sertifikat juara puisiku, piagam penghargaan saat aku selesai mengikuti Batra PII. Yang semuanya membuatku kagum betapa rapinya beliau menyimpan semua dokumentasi. Foto mama ketika gadis, foto papa ketika baru menjadi Pegawai hingga foto mengikuti SPAMA. Aku tidak setelaten beliau, aku cenderung menyimpan semua kenangan dalam ingatan yang kutuang dalam tulisan, hingga suatu saat bisa aku baca dan melihat kembali hal-hal yang hilang dirampas waktu.

Ibuku adalah produk perempuan zaman dulu, yang di haruskan trampil mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, pandai menjahit, menyulam, merajut, memasak dan membuat kue. Keterampilan yang sebagian besar tidak kupahami. Karenanya saat aku menggunting kafannya, sedihku tak dapat kutahan karena akhirnya aku bisa membuatkan beliau baju untuk perjalanan abadinya dengan tanganku yang tak ahli.

Selesai sholat subuh aku mengatur semua kelengkapan mandi mama. Sabun dan sampo, sisir, bedak dan parfumnya. Dan meminta putriku mengambilkan potongan baju ihram yang akan dipake untuk mengeringkan badan mama setelah mandi. Yang satu potongnya lagi telah digunakan papa saat papa dimandikan dua tahun lalu.
“Bunda, ini ada kain kafan juga dilemari pue, diletakkan bersama kain ihram ini” kata chacha mengejutkan aku. Ya Illahi…. Akubterperangah melihat kain putih yang diambil chacha dari lemari mamaku.

Ternyata mama juga sudah menyediakan kain kafan untuk dirinya sendiri. Kapan beliau membelinya? Seingatku hanya beberapa hari setelah papa meninggal mama langsung mengambil alih kursi roda papa. Dan sejak itu, mama tidak bisa pindah sendiri dari kursi roda kecuali digendong. Lalu kapan beliau membeli kain kafan ini? Pastinya ketika beliau masih kuat dan masih sering pergi belanja untuk kebutuhannya. Artinya sebelum papa meninggal. Ya Illahi, mereka berdua sudah menyiapkan kelengkapan mereka.

Akhirnya Aku kembali menggunting kafan mama yang sudah beliau siapkan dengan air mata berlinang, dan menyimpan kafan yang semalam sudah kugunting.

Bahkan untuk baju abadimu engkau sendiri yang memilih sendiri bahannya.. sungguh mengagumkan.


Sebelum mama aku mandikan, aku menatap wajahnya. Wajah teduh yang tengah tidur lelap, mata dan mulutnya terkatup rapat, tapi garis senyumnya tetap terpeta dengan jelas. Perempuan yang sebagian besar waktunya habis mengurus anak dan ponakannya yang yatim.

Mamaku memang bukan peremouan biasa, kesabarannya sama sekali tidak bisa kutandingi. Aku ingat ketika masih remaja aku merajuk karena meminta dibelikan sesuatu. Tapi waktu itu mama meminta aku bersabar karena beberapa orang sepupuku harus membayar biaya sekolah dan segala perlengkapannya. Aku protes keras karena merasa mama lebih mendahulukan ponakan-ponakannya. Aku ingat waktu itu mama masuk kekamarku dan duduk di tepi tempat tidurku. Aku membiarkan saja bahkan tidur menelungkup. Mama bukan hanya membujuk tapi juga meminta maaf karena menunda mengabulkan permintaanku ” nak, mama minta maaf… bukan mama tidak mau membelikan apa yang kau minta, mama hanya minta pengertianmu. Karena adik-adik sepupumu lebih butuh dipenuhi kebutuhan sekolahnya. Kau tahu, kalau gaji papa dan gaji mama rasanya lebuh dari cukup untuk memenuhi semua kebutuhan kalian berempat. Tapi bagaimana dengan sepupumu? Mama juga bertanggung jawab menjadikan mereka sama dengan orang lain. Mereka juga harus jadi manusia yang bermamfaat, paling tidak nanti ketika mereka dewasa mereka tidak menjadi beban keluarga. Bisa sekolah dan bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sendiri” mamaku mengelus pundakku. Aku berbalik dan melihat mamaku menjelaskan dengan mata berembun. Seketika hatiku luruh… apalagi mengingat anak-anak Om saudara dari mamaku yang tinggal bersama kami. Empat belas orang bersaudara dari dua ibu. Yang ketika Omku meninggal putra bungsunya baru berusia beberapa bulan. Mamaku memang tidak mengambil bayi tersebut, dia diambil oleh adik bungsu mamaku. Tapi beberapa orang langsung tinggal bersama kami, dan menjadi seperti saudara sedarah dengan kami. Mamaku memang luar biasa. Jika aku yang ada di posisinya mungkin aku tak akan sekuat beliau. Tidak mudah membesarkan 4 orang anak ditambah pula dengan sekian orang ponakan, bahkan menampung lagi ponakan dari saudara-saudaranya yang lain termasuk beberapa orang ponakan sepupu dalam satu rumah. Tapi Mamaku tidak pernah sekalipun mengeluh. Beliau bekerja sebagai pegawai dan nyambi kulakan apa saja yang bisa dijual. Semua dilakukannya dengan ikhlas tanpa mengeluh…..

Bersambung

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: