💔Kisah ibu Ma’ati dari Petobo💔

Hari ini hari jumat, artinya sudah minggu keempat pasca bencana. Kotaku sudah benar-benar pulih di saat siang, dimana senyum dan tawa lebar mulai kita temui dihampir seluruh penjuru kota, seperti kebiasaan masyarakat palu yang ramah dan sangat welcome dengan siapa saja yang sempat bertemu.

Kedai-kedai kecil tempat berjualan makanan sudah bisa kita temui lagi, meskipun restoran besar belum beroperasi. Hotel-hotel besar yang bangunannya sudah tidak utuh berdiri laksana tugu yang diam membisu, jika petang mulai beranjak mengantar malam bangunan-bangunan itu seperti monster raksasa yang menyembunyikan cakar-cakar dipunggungnya.

Dari sorong pesawat saya tiba di Palu magrib, setelah makan malam dengan menu ikan bakar dan sop sodara di RM sepanjang perempatan jalan mangga- Sis Aljufri kami mengarahkan kendaraan ke Bumi bahari dan belok ke arah pantai melewati Palu Grand Mall yang malam ini menjadi satu-satunya bangunan yang terang lampunya. Melewati kampus STAIN Dato Karama, hotel Grand duta, Ecselso, hotel mercure dan bangunan -bangunan kecil lain yang tinggal puing-puing tanpa penerang nampak seperti area pekuburan yang membuat bulu roma merinding. Debur ombak sepanjang pantai, mengingatkan bahwa beberapa waktu lalu laut yang sama pernah bergolak dan mengubah semua keindahan menjadi horor dan menakutkan. ” Balik yuuukkk….. tak ada jalan tembus disana” kata bungsuku memecah suasana yang tiba-tiba senyap. Lampu sorot mobil menangkap sepasang anak muda yang tengah duduk diatasnya dengan santai “Bisanya pergi pacaran ditempat begini, tidak takut apa dengan banyaknya mayat-mayat yang ditemukan disepanjang pantai lalu? Kita dalam mobil saja horor” kata putri keduaku menimpali ajakan pulang adiknya “Mungkin mereka kakak beradik yang berkunjung ke sini karena orang tuanya meninggal disini kakak” kata bungsuku lagi “lagian kenapa datang kesini jam begini?” Kata kakaknya lagi “Atau jangan-jangan mereka bukan manusia kakak, pas lagi pacaran terus mati terbawa arus sunami hiiii……” si Dede langsung pindah kekursi depan. Bahkan saya juga tak berani menoleh untuk memastikan apakah pasangan tadi masih disana atau bagaimana? Mobil kami arahkan berbelok ke gedung theater seni dan baru kami bisa bernafas lega ketika dari rumah-rumah sepanjang jalan mulai menerangi jalan yang kami lalui.

Dan siang ini saya melaju menuju Huntara, Hunian sementara yang di bangun di Lasoani. Sepanjang jalan melewati jalan Veteran tenda-tenda warga petobo korban Liquifaksi menyebar. Lahan yang dulunya sepi kini berubah menjadi kota tenda padat penduduk. Disana sini banyak yang berjualan makanan. Bahkan kita bisa menemukan warung coto makasar juga.😊 Dengan Ustadz Dalil tetangga kami, aku dan anak saya turun menumui ibu Ma’ati. Beliau salah satu warga yang selamat setelah nyaris lima jam berjuang dari kepungan lumpur. Saat kami turun beliau menyambut hangat. Sambil tesenyum lebar beliau mengajak kami duduk di kursi tamu didepan tendanya. Dari depan tenda mataku menyapu seluruh tenda, ada meja besar, sebesar meja pimpong dengan kaki rendah disamping kursi tamu tempat kami duduk yang digunakan oleh putri dan ponakannya lesehan sambil main game. Didalam ada kelambu yang terpasang dibagian barat, tenda yg difungsikan sebagai kamar, disebelahnya ada kasur yang terhampar dengan dos-dos besar yang nampaknya di fungsikan sebagai lemari. Dibagian lain ada dapur sementara.

Waduh sungguh tak terbayangkan jika mereka harus menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk tinggal di tenda karena nyaris semua yang ada di tenda-tenda wilayah ini adalah mereka yang kehilangan rumah dan semua harta mereka. Malam kejadian mereka bisa lari dan menyelamatkan diri saja sudah merupakan anugerah besar.
Sambil menyeruput teh si ibu bercerita, bagaimana dia terselamatkan dari Liquifaksi.

Hari itu jelang magrib, dia tengah bersiap hendak sholat magrib. Tiba-tiba dia mendengar suara dentuman yang sangat keras, begitu mengejutkan dan membuatnya takut karena selama hidup dia belum pernah mendengar dentuman dan ledakan yang begitu dahsyat. Belum lagi reda rasa terkejutnya ketika tiba-tiba dia merasakan tanah yang di pijaknya bergoyang hebat hingga dia jatuh dan mendengar putrinya berteriak “mama keluar, gempa” dengan susah payah dia berusaha bangkit dan berlari kehalaman depan rumahnya. Beliau yang saat itu bersama putri dan cucunya kemudian terpisah, karena anak dan cucunya yang berusia 8 bulan berlari kearah belakang rumah sedangkan dia berlari kearah depan.. si ibu yang sudah berada di halaman tiba-tiba bingung kemana harus berlari karena yang dia saksikan sungguh amat mencegangkan. Jalanan didepan rumah bergelombang dan sebagian lagi merekah.
Samar-samar telinganya mendengar teriakan minta tolong yang begitu menyayat hati. Situasi gelap dan teriakan orang -orang yang meminta tolong berbareng dengan suara orang bertasbih, bertakbir membuat suasana begitu menakutkan. Tiba-tiba didengarnya ada yang berteriak tolong anakku, ketika dia menoleh dia menampak yang meminta tolong itu adalah tetangganya. Seketika tanah diantara dia dan ibu si bayi menganga, tepat saat si Ibu melemparkan anaknya kearah ibu Ma’ati yang masih terkejut karena melihat tanah terbuka begitu dalam dan menganga dan begitu banyak orang-orang yang terjeblos kedalamnya, dia nyaris tidak melihat siapa saja mereka, apakah ada saudara atau tetangga tapi dari suara mereka yang berteriak dan menjerit minta tolong dia merasakan ketakutan dan keputus asaan mereka, ya illahi. Secepat kilat dia menerima anak yang dilemparkan ibunya kepadanya dan bersyukur karena dengan sebelah tangan dia bisa meraih anak yang berusia belum genap 2 tahun tersebut hingga tidak ikut terjeblos kedalam tanah yang menganga. Dia berbalik dan selekas meninggalkan tempat itu bersama anak dalam gendongannya, tiba2 dia mendengar suara berdentum dan ketika menoleh ternyata tanah yang menganga tadi tertutup kembali, kakinya lemas membayangkan semua orang yang terjeblos masuk kedalam. Hatinya serasa diremas ya Illahi bagaimana anak dan cucuku batinnya dalam hati, apakah mereka selamat melewati tanah yang menganga begitu lebar? Cuaca gelap dan panik membuat sebagian orang tidak memperhatikan bahwa jalan didepan mereka membelah. Dia mendekap anak tetangganya itu sekuatnya, seakan pelukan itu mampu meredakan hati dan perasaannya yang tiba-tiba bergolak. Tiba-tiba saja disampingnya berdiri ibu si bayi dan mengambil putranya dalam pelukan bu Ma’ati dengan terisak, sambil menggumamkan terima kasih padanya lalu mengajaknya berlari. ketika tiba-tiba mereka diterjang lumpur yang entah dari mana datangnya. Sungguh dia merasa saat itu sudah kiamat, ditengah ketakutan dia yang tubuhnya sudah terbungkus lumpur hanya mampu mendesis menyebut nama Allah, ketakutan sambil menangis berusaha meraih apa saja yang bisa diraih untuk menahan tubuhnya agar tidak tergulung lumpur, ketika kemudian dibawah sinar bulan dia menampak ranting, diulurkannya tangannya meraih ranting tersebut dan baru menyadari setelah dekat bahwa itu ranting dari sebatang pohon, sambil memeluk pohon sekuatnya ketika dia merasa tangannya ditarik oleh seseorang, dia berusaha berdiri dan ternyata lumpur setinggi lehernya, kembali dia berontak dan melepaskan tangan penolongnya lalu buru-buru memeluk kembali pohon. Sampai ada yang menyodorkan tali dan penolongnya ternyata sudah mengikatkan tali di pohon tempatnya berlindung. Orang tersebut ternyata adalah sepupunya kemudian meminta dia untuk berenang sambil meniti di tali. Pelan-pelan dia berpegang ditali, mencoba menjejakkan kaki ke dasar lumpur tapi ternyata lumpur itu begitu dalam. Dia berusaha menggerakkan kekuatan tangan dan kakinya untuk bergerak, terasa sangat lama barulah dia tiba di seberang. Seseorang mentambutnya dan akhirnya dia bisa berdiri lega ditempat keras. Dia baru menyadari kalau mereka berada di atas bumbungan rumah. Disana sudah ada beberapa orang yang duduk dengan tubuh tertutup lumpur.Dia menyaksikan seorang ibu yang tidak mampu duduk, dan ketika dia melihat ada kasur yang tersembul dari atap yang terbuka, dia berdiri untuk menarik kasur tersebut dengan maksud memberikannya kepada ibu yang sakit dan tak mampu duduk. Saat dia menarik kasur, hampir saja dia terpelanting karena terkejut, karena bukan hanya kasur yang tertarik tapi juga potongan kaki. Entah potongan tubuh yang lain kemana. Ibu Ma’ati yang biasa penakut hari itu telah kehilangan rasa takutnya, dengan tabah dia menyingkirkan potongan kaki dan menarik kasur dan menghamparkan kepada ibu yang sakit. Sementara anak si ibu turun kerumah dan mencarika bu ma’ati baju yang pantas karena daster yang dipakainya sudah tidak bisa menutup sebagian auratnya. Mereka melalui malam itu disana. Tanpa tidur sekejabpun karena mereka terus mendengar suara-suara orang yang minta tolong namun tak bisa melakukan apa-apa.
Dan kini setelah empat minggu melewati malam itu, ibu Ma’ati merasa seolah telah melewati mimpi yang sangat buruk dan dalam sujudnya dia selalu meminta agar jangan lagi diuji dengan kejadian yang menakutkan seperti malam itu. Kehilangan rumah tak berarti apa-apa baginya karena dia yakin rumah masih bisa dibangun lagi, harta masih dapat dicari tapi nafas yang dititipkan Allah, semoga hanya tergunakan untuk hal yang bermamfaat.

Note: Kukisahkan kembali lewat tulisan kisah ibu ini, menjawab komen pak Gunawan Suswantoro, 😊 jangan sampai tulisan ini hilang ditelan Tsunami hehehe…..

6 Replies to “💔Kisah ibu Ma’ati dari Petobo💔”

    1. Amin allahuma amin. sungguh tidak mudah menghilangkan ketakutan dan melawan trauma tapi inshaa allah jika semua dihadapi dengan iman maka yakin akan kembali pulih

      Suka

      1. Bukankah Allah Swt tidak akan menguji hambaNya melampaui kekuatannya? Kami terpilih, dan harus berbesar hati menerima meskipun pahit😐 Keyakinannya ujian Allah tidak lain untuk menjadikan hambaNya menjadi lebih baik lewat sentilan, bantingan, hingga keterpurukan.

        Suka

Tinggalkan komentar