Sahabatku…… Rasanya aku lebih suka menyapamu begitu.. boleh kan?
Hidup seringkali mempergilirkan kebahagiaan dengan kesulitan, senyum dengan tangis, gembira dengan kecewa karena memang senyatanya tak ada sesuatupun yang abadi di dunia ini. Jika hari ini kita mendapatkan, maka bisa jadi besok kita kehilangan, jika saat ini kita terbahak mungkin sebentar lagi kita mengisak pilu.
Lantas apa yang membuat kita harus terpaku pada satu kondisi dan enggan beranjak jika kita tahu semua akan berlalu selayaknya daun kering yang tertiup angin?
Sekiranya kita ditempatkan Allah pada posisi sedih, layakkah bagi kita untuk terus menerus tenggelam dalam kesedihan sehingga kita lupa, bahwa masih ada kewajiban lain yang menunggu untuk kita sentuh, dan bisa jadi, menjadi pintu untuk mengusir kesedihan yang kita rasakan dan bahkan, mengundang kita untuk tertawa
Sebagian orang bijak mengatakan, hidup ini hanya sekedar permainan, apapun itu, kecuali ibadah yang harus kita sungguh-sungguhi. selebihnya tak mesti kita simpan di hati, karena Dunia sesuatu yang fana… sehingga orang yang menyimpan dunia di hatinya, tergolong orang yang merugi. Sebagian lagi menyebutkan bahwa mengejar dunia dengan segala pernak-perniknya, seumpama minum air laut yang asin, kita tidak akan pernah puas dan akan selamanya dahaga. Karena dunia memang di ciptakan untuk membius, membuat kita terlena, hingga lupa tujuan sebenarnya kita di hadirkan ke dunia ini.
Kemilau dunia sungguh mempesona, hingga sukar bagi kita untuk memalingkan mata darinya, meski peringatan demi peringatan tak henti-hentinya bergaung dari segala sudut.
Sekiranya bukan karena hidayah, maka kita akan terus di lenakan dengan kesibukan mengejar dunia, mengumpulkan sesuatu yang sia-sia yang sama sekali akan menjadi sampah, karena tidak satupun yang akan kita bawa jika waktunya tiba, dan kita harus meninggalkan dunia ini sebagai seorang yang miskin papa.
Mustahil kita membawa mobil mewah, rumah mewah, tanah berhektar-hektar, perkebunan, peternakan, hotel dan bahkan mungkin koleksi perhiasan yang tak ternilai, yang karena kesibukan mengumpulkannya, kita sudah terlalu letih untuk mensyukurinya dan bahkan terlalu capek untuk melaksanakan kewajiban beribadah kita, sholat tidak bisa lagi kita lakukan karena kita sudah terlalu capek dan mengantuk saat tiba di rumah, puasa tidak kita lakukan dan kita berdalih tidak kuat karena penyakit maagh, infak dan sadakoh tidak kita lakukan, karena kita merasa hidup kita saja masih kurang, apa yang mau dibagi?bahkan tersenyum saat berpapasan dengan tetangga sekalipun, seringkali kita lalai bahkan cenderung enggan, karena kita juga tak punya waktu untuk berhandai-handai. Hidup kita akhirnya seperti dalam tempurung, kita sibuk dengan diri kita sendiri dan tidak peduli dengan kehidupan dan lingkungan kita. Yang kita fikirkan hanyalah semata-mata kebutuhan dan keinginan keluarga kita, kita menjadi egois, individualis bahkan bisa jadi juga konsumtif . Kita disibukkan dengan semua urusan dunia, waktu kita disita oleh keinginan-keinginan semu yang seolah tiada habisnya, hingga kita lupa kehidupan abadi kemudian. Hidup akhirnya tidak menyisakan apapun yang bisa kita bawa ke alam, dimana kehidupan yang sesungguhnya di mulai.
Jadi ingat sebuah hadits dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu , ia mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
” Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allâh akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia tidak mendapatkan dunia kecuali menurut ketentuan yang telah ditetapkan baginya. Barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allâh akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina ”
Kalau akhirnya kita semua akan PULANG, dan tidak akan membawa apapun selain amal kebaikan lalu mengapa kita mengejar dunia lebih dari semestinya? Mengapa kita mengumpulkan harta seolah-olah kita tak akan pernah mati? Hingga melupakan silaturahmi dengan orang lain, bahkan melupakan orang-orang yang kita sayangi? Padahal janji Allah DIA akan meminta dunia datang kepada kita dalam keadaaan hina jika kita meletakkan akhirat sebagai tujuan, dalam arti bisa jadi kita diberikan cuma-cuma apa yang kita butuhkan atau Allah meredupkan pandangan kita terhadap kemilau dunia (Tidak lagi tertarik).
Jika kehidupan ini akhirnya akan berakhir, maka selayaknya kita tersenyum…. tersenyum menghadapi apapun. Kemungkinan badai akan menerpa, kemungkinan kesenangan yang tak disangka-sangka, kemungkinan kehilangan dan tentu saja kemungkinan mendapatkan kebahagiaan. kesadaran itu akan membuat kita waspada, jika diberi kesenangan kita akan tersenyum tidak tertawa berlebihan, jika diberi kesedihan sepatutnya kita juga tersenyum tidak meratap yang berlebihan, kenapa tersenyum karena kita yakin apapun itu akan bergulir pergi. Jika badai besar datang sepantasnya kita juga tersenyum karena Allah menginginkan kita tetap berdiri kokoh dengan kepala tegak, bukankah sebesar apapun badai akan berlalu juga? tentu saja dengan balasan kebahagian yang sama besarnya. karena hitung-hitungan Allah tidak pernah meleset. sesuatu yang besar akan dibalas dengan yang setimpal.
Semua itu hanya bisa kita lakukan kalau kita memandang dunia dengan sebelah mata, dunia bukan segala-galanya, atau menjadikan kehidupan sesudah mati adalah kehidupan abadi dan kita bersungguh-sungguh mengumpulkan bekal untuk kesana.
So……tetaplah fokus pada tujuan utama, terus berbuat baik, berkata baik, bersikap baik karena hanya itu yang bisa kita bawa kerumah baru kita….