
Seperti biasanya, begitu tiba di sekolah aku memeriksa email yang masuk dari sahabat-sahabatku. Ada satu email masuk dari sahabatku di Malang bahwa mereka tengah melaksanakan Skill Olympic ( Lomba Kompetensi Siswa Tkt SMK) se Kab/Kota . Berbicara mengenai LKS di kotaku sebenarnya adalah salah satu hal yang membuat dada terasa nyeri. Bagaimana tidak? rasanya setiap tahun SMK 1 Palu tempatku mengajar selalu mengikuti, dan persiapan guru produktif untuk membuat siswa bisa menjadi juara adalah hal lain yang membuatku teramat bangga. Dengan kerja keras tak kenal lelah mereka mempersiapkan anak dari keempat program keahlian yang ada ( Tata Boga, Tata Busana, Tata Kecantikan dan akomodasi perhotelan). sampai-sampai ada guru yang rela menginapkan anak hingga 2 bulan di rumahnya untuk sekedar berlatih Tata rias. Hal itu kemudian menuai hasil Si Anak berhasil merebut Juara satu Tata Kecantikan kulit Tingkat Nasional pada LKS Nasional di Bandung pada tahun 2007. Dan Juara harapan Tata kecantikan kulit pada LKS Tingkat Nasional 2008 di makasar. Hal itu tentu saja membuat kami semua merasa terharu sekaligus bangga karena perjuangan dan pengorbanan itu tidak sia-sia. Namun yang membuat perasaan menjadi nyeri dan tersayat-sayat karena kemudian menghadapi kenyataan dari tahun ke tahun Dikjar Propinsi Sul -Teng yang seharusnya menunjang dan mendukung sepenuhnya bahkan semestinya memberikan reward kepada guru pembimbing yang sudah mati-matian bekerja untuk mentrampilkan siswa agar tidak memalukan jika harus membawa nama daerah, hanya di pandang sebelah mata. Kalaupun bantuan ada, sebatas Transportasi siswa peserta, dan pembimbing, itupun tidak seluruh pembimbing yang di biayai. Pikir kami mungkin mereka menyangka SMK seperti halnya SMA, Jika anak mengikuti Olimpiade fisika, Matematika dan Biologi boleh di bawa oleh hanya satu orang pembimbing. Padahal SMK dengan berbagi macam keunikannya dan berbagai kebutuhan tidak memungkinkan guru Boga mengetahui semua hal yang essensial pada jurusan Kecantikan , Demikian sebaliknya. Sehingga Siswa akan merasa lebih tenang jika mereka di dampingi oleh guru dari jurusannya masing-masing. Sehingga dari tahun-ke tahun biaya persiapan untuk mengikuti lomba sebagian besar di limpahkan kepada sekolah. Sekolah yang harus memikirkan bagaimana menyediakan kosmetik yang paling bagus dan tentunya harganya mahal, sekolah harus menyiapkan kostum yang indah untuk menunjang performance model, tentunya juga tidak murah. Bahkan harus membawa model dari Palu tentunya sekolah juga harus memikirkan Transportasi dan akomodasi Model dalam hal ini bukan hanya satu orang model saja, siswa peserta lomba, dan guru pembimbing. Belum lagi dengan ketiga jurusan yang lain dan dengan rincian biaya yang tidak sedikit pula. Akhirnya yang terjadi kemudian Semua guru harus rela menyisihkan sebagian anggaran kesejahteraan mereka baik yang bersumber dari dana komite, unit produksi dan lain sebagainya untuk kegiatan tersebut. Harus di akui meskipun pertimbangan untuk memotong kesejahteraan guru di dasarkan pada pertimbangan agar sekolah tetap bisa mengirimkan siswa untuk mengikuti lomba, namun ada juga sebagian guru yang menggerutu karena kesal kepada kebijakan Dikjar, karena anak yang dikirim ke tingkat Nasional tersebut adalah utusan Daerah sehingga mestinya segala biaya yang berkenaan dengan lomba harus di tanggung oleh daerah. Menurut mereka Sekolah hanya wajib menyiapkan siswa yang terampil sehingga tidak memalukan untuk di kirim mewakili Daerah. Menyiapkan siswa yang terampil saja sudah membutuhkan biaya besar karena siswa tidak hanya di berikan pelajaran teori tapi harus melakukan praktek berulang-ulang agar terampil dan itu membutuhkan bahan praktek yang tidak sedikit. Saya sangat memahami perasaan teman-teman yang seperti ini. Tapi adakah keberanian sekolah untuk menolak memberangkatkan siswa ke LKS karena alasan tersebut? Tegakah guru melihat kekecewaan Siswa yang sudah berlatih sedemikian keras kemudian batal berangkat karena alasan yang sama? Yang menjadi tanda tanya pula apakah keluhan guru seperti ini sampai kepada pihak Dikjar? Kalau sampai sebegituh buta, dan tulinyakah mereka sehingga membiarkan kondisi ini terus berlangsung dari tahun ke tahun?Jika mereka tidak tahu lalu dimana letak kesalahanya? Tapi rupanya apapun pertanyaan itu, hanya terlontar sebatas rapat dengan Kepala Sekolah. Tidak pernah terjawab karena tahun ini hal yang sama pasti terulang kembali seperti tahun-tahun kemarin.